Maulid Ad-Diba’i
Nama lengkapnya adalah Wajihuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Umar bin Yusuf bin Ahmad bin Umar asy-Syaibani az-Zabidi asy-Syafi’i. Ia memiliki gelar Abul Faraj dan masyhur dengan sebutan Ibnud Diba’. Ia merupakan salah satu ulama yang sangat luas dan dalam pengetahuannya.
Imam Abdurrahman ad-Diba’i merupakan salah satu ulama kelahiran kota Zabid, Yaman. Beliau lahir bertepatan pada Muharram 866 H dan wafat pada Jumat 12 Rajab 944 H. Pada masa pertumbuhannya, Imam Abdurrahman tidak merasakan kasih sayang seorang ayah. Ia harus besar dan tumbuh bersama kakeknya, Syekh Syarafuddin Abil Ma’ruf Ismail bin Muhammad asy-Syafi’i, sebab ayahnya wafat bertepatan dengan hari-hari menjelang kelahirannya. (Habib Abdul Qadir bin Habib Abdullah al-‘Idrus al-Husaini al-Hadrami, an-Nurûs Safîr ‘alâ Akhbâril Qurûnil Âsyir, [Bairut, Dârush Shadr: 2001], halaman 286)
Hidup di bawah asuhan kakenya yang juga sangat alim dan dikenal sebagai orang saleh, Abdurrahman kecil selalu diajari ilmu. Kehidupannya saat kecil tidak seperti anak muda umumnya, ia lebih fokus pada ilmu. Sejak kecil ia belajar Al-Qur’an pada Syekh Nuruddin bin Abi Bakar. Di sela-selanya ia juga mempelajari cara baca Al-Qur’an versi tujuh bacaan (qirâ-ah sab’ah) kepada pamannya, Syekh Jamaluddin Muhammad Thayyib bin Ismail sampai khatam dan hafal secara lancar dan fasih. Bahkan di usia 10 tahun ia sudah berhasil menghafal Al-Qur’an.
Prestasinya sebagai penghafal Al-Qur’an di umur yang masih sangat muda tidak lantas membuatnya berhenti mencari ilmu. Rasa haus pengetahuan mengharuskan dirinya selalu mengembara untuk memperdalam keluasan ilmu Allah swt. Imam Abdurrahman memperdalam ilmu fiqih kepada Syekh Taqiyuddin Abul Hafs; belajar hadits kepada seorang muhaddits pada zamannya yaitu Syekh Zainuddin Abul ‘Abbas Ahmad bin Ahmad asy-Syirji; belajar kitab Shahîhul Bukhâri, Shahîh Muslim, Misykâtul Mashâbîh, Bulûghul Marâm, dan hadits lain kepada Syekh Syamsuddin Muhammad bin Abdurrahman as-Sakhawi; belajar kitab Minhâjuth Thâlibîn, kitab monumental karya Imam an-Nawawi (wafat 676 H), dan kitab al-Hâwi as-Shaghîr karya Imam al-Mawardi (wafat 450 H), kepada Syekh Jamaluddin Ahmad bin Thahir bin Ahmad bin Umar.
Pengembaraannya yang tidak kenal lelah dalam mencari ilmu membuatnya menjadi sosok ulama yang sangat luas ilmu pengetahuannya. Dalam kitab Mil’ul Awâni disebutkan:
كَانَ اِبْنُ الدِّيْبَع مُتَبَحِّرًا فِي الْقُرْأَنِ وَالْحَدِيْثِ وَعُلُوْمِهِمَا، وَكَذَلِكَ الفِقْهُ وَكَثِيْرٌ مِنَ الْعُلُوْمِ
Artinya, “Ibnud Diba’ adalah ulama yang sangat luas dalam Al-Qur’an dan hadits serta ilmu-ilmu keduanya, begitu juga (sangat luas) dalam ilmu fiqih dan berbagai ilmu-ilmu yang lain.” (Al-Anshari, Mil’ul Awânî fî Tahqîqil Maulid Dîba’i, halaman 13).
Luasnya pengetahuan Imam Abdurrahman juga bisa dilihat dari karyanya yang banyak. Di antara yaitu Bughyatul Mustafid, Ghâyatul Mathlûb, Taisîrul Wushûl ilâ Jâmi’il Ushûl, Nasyrul Mahâsinil Yamâniyyah, Misykâtul Anwâr bi Shihâhi Hadîtsil Mukhtâr, Hadâ-iqul Anwâr wa Mathâli’ul Asrâr, dan yang lain. Adapun yang paling masyhur adalah kitab Maulid ad-Diba’i.
Maulid Diba’ sebenarnya bukanlah nama khusus kitab ini. Sebab semua isi yang ada di dalam maulid Diba’ merupakan ringkasan dari Maulid Syaraful Anâm, karangan Syekh Syihabuddin bin Qasim, sebagaimana dijelaskan:
اِشْتَهَرَ هَذَا الْكِتَابُ بِالْمَوْلِدِ الدِّيْبَعِي نِسْبَةً إِلَى مُؤَلِّفِهِ الْمَشْهُوْرِ بِابْنِ الدِّيْبَعِ. كَانَ مُخْتَصَرًا مِنْ كِتَابِ الْمَوْلِدْ شَرَفِ الْأَنَامِ لِلشَّيْخِ شِهَابُ الدِّينِ أَحْمَدَ بْنِ عَلِيِّ بْنِ قَاسِمِ الْمُرْسِيِّ الْمَشْهُوْرِ بِابْنِ قَاسِمٍ
Artinya, “Kitab ini terkenal dengan nama Maulid Diba’i, karena disandarkan kepada penyusunnya, yang dikenal dengan nama Ibnud Diba’. Kitab ini merupakan ringkasan dari kitab Maulid Syaraful Anâm, karangan Syekh Syihabuddin Ahmad bin Ali bin Qasim al-Mursi, yang dikenal dengan nama Ibnu Qasim.” (Al-Anshari, Mil’ul Awâni, halaman 10).
Betapa pun Maulid Diba’ hanya sebatas ringkasan, namun keberkahan di dalamnya sangat banyak, keutamaannya sangat luas dan tentunya sebagai media untuk memperbanyak membaca shalawat kepada Rasulullah saw. Semua itu bisa dilihat dari cara penyusunannya yang tidak hanya fokus membahas tentang perjalanan hidup Rasulullah saw dan shalawat atasnya, namun juga mencantumkan beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits, sehingga pembaca tidak hanya membaca shalawat namun juga membaca Al-Qur’an dan hadits.